Sabtu, 26 Januari 2013

Askep BPH

ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR JINAK BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah KMB Dosen : Zaenal Amirudin, Skep, Ns DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG PRODI KEPERAWATAN PEKALONGAN 2008 PENDAHULUAN Secara klinik tumor dibedakan atas golongan neoplasma dan non neoplasma misal kista, radang atau hipertrofi. Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker terjadi karena timbul dan berkembang biaknya sel-sel secara tidak terkendali sehingga sel-sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan fungsi organ tempat tumbuhnya. Kanker/ karsinoma atau sarkoma tumbuh menyusup ke jaringan sekitarnya (infiltratif) sambil merusaknya (destruktif) dapat menyebar ke bagian lain tubuh dan umumnya fatal jika dibiarkan. Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif), dan umumnya tidak bermetasis, misalnya lipoma. Jenis tumor: Pembengkaan Neoplasma Non neoplasma (tumor) Kista Radang Hipertrofi Maligna Benigna (Kanker) Karsinoma Sarkoma KONSEP DASAR A. Pengertian Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000: 67) Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran adenomateus dari kelenjar prostat (Barbara C Long, 1996) Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Depkes 1999, hal 108) Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Syamsuhidayat, Jong. 1997: 1058) B. Etiologi Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329) Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah: 1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut 2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati 4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000, hal 74-75) Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long, 1999: 32) C. PATOFISIOLOGI BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi. Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme yaitu kompensasi dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah menimbulkan infeksi. Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan menggunakan teknik septik dan aseptik. D. PATHWAYS KEPERAWATAN Perubahan Usia Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron Testosteron menurun Estrogen meningkat Perubahan patologik anatomik BPH Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot detruktor Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal (refluks VU) Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih Tekanan ureter ke ginjal Resiko infeksi Kerusakan fungsi ginjal Insisi prostat Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko Berkemih Infeksi disfungsi seksual Keseimbangan Peregangan Cairan terganggu Spasme otot VU Resiko kekurangan Nyeri(akut) Volume cairan (Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000) E. Manifestasi Klinikl Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif. 1. Gejala iritatif Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat miksi (disuria) 2. Gejala Obstruktif Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overlow. Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal, peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat dari stadiumnya a. Stadium I Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis b. Stadium II • Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc • Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria) • Nokturia c. Stadium III Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih d. Stadium IV Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar periodik. (Depkes, 1996, hal 109) Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu: a. Rectal Grading Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai berikut: 0-1 cm . . . . . . . grade 0 1-2 cm . . . . . . . grade 1 2-3 cm . . . . . . . grade 2 3-4 cm . . . . . . . grade 3 >4 cm . . . . . . . grade 4 b. Clinical Granding Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1 Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2 Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3 Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4 F. Komplikasi Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid. G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium • Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan infeksi • Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolik • Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan • Darah lengkap • Leukosit • Blooding time • Liver fungsi 2. Pemeriksaan Radiologi • Foto polos abdomen • Prelograf intravena • USG • Sistoskopi H. Penatalaksanaan a. Observasi b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-reduktase, fisioterapi) c. Terapi bedah dan terapi infasiv (Mansjoer Arif, 2000: 333) I. Fokus Keperawatan 1. Pengkajian a. Sirkulasi Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal) b. Eliminasi Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal. • Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan • Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap • Dorongan dan frekuensi berkemih • Nokturia, disuria, hematuria • ISK berulang, riwayat batu (status urinaria) • Konstipasi Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih. c. Makanan/ cairan Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB. d. Nyeri/ kenyamanan Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut) e. Keamanan Gejala: demam f. Seksualitas, Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi. Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat g. Penyuluhan/ pembelajaran Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal. Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatometrik. Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari. Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi. Contoh: kateter. 2. Fokus Intervensi a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat. Kriteria hasil: • Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih • Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran Intervensi: • Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih • Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi • Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal • Palpasi atau perkusi area suprapubic Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic • Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total • Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal Rasional: Menurunkan resiko infeksi • Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih. Kriteria hasil: • Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol • Pasien tampak rileks • Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang Intervensi • Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya. Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi • Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal • Pertahankan tirah baring bila diindikasikan Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik • Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas dalam Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan kemampuan koping c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Kriteria hasil: • Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab Intervensi: • Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal • Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia • Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik • Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi. DAFTAR PUSTAKA Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta. Doengoes E Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawtan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta. Syamsuhidayat, R. 1997. Keperawtan medikal Bedah. EGC: Jakarta.