Minggu, 11 Juli 2010

DONGENG "LEGENDA BATANG AIR YANG MEMBATASI SIULAK-SEMURUP"

LEGENDA BATANG AIR
YANG MEMBATASI SIULAK-SEMURUP

Syahdan dizaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bernama Piatu, yang disingkat dari “yatim piatu” di sebuah desa bernama Jambu Alo (Siulak Gedang sekarang-pen).
Sehari-hari kerjanya hanya memancing ikan disungai Batang Merao, atau sesekali mencari kayu bakar bersama kakek neneknya. Sipiatu hidup sebatang kara, wajahnya yang jelek, serta kehidupan nya yang miskin membuat orang-orang memandang rendah dirinya.
Waktu itu, kerajaan Kerinci Hulu sedang berduka cita. Yang mana, Puti Seranok Pinang anak dari Raja Tuo, raja yang memimpin kerajaan Kerinci Hulu waktu itu, sedang dilanda suatu penyakit yang amat teramat aneh. Dikatakan tidur, matanya tercelang, dikatakan mati, nafasnya masih teratur. Dengan kekayaan dan kemegahannya, Raja Tuo mendatangkan berbagai macam orang tabib dan dukun-dukun kampung, namun tak seorangpun yang mampu mengobati penyakit sang puteri.
Sang baginda raja merasa putus asa. Kerinci Hulu kala itu, amat teramat sedih dan rakyatnyapun terbawa arus kesedihan sang baginda raja. Mereka enggan menyapa bila tidak perlu.




Nun jauh dihilir sana… disebuah hutan belantara menjelang Semurup, hiduplah orang tiga beranak. Seorang ayah yang sudah tua renta, dan seorang ibu yang sudah nenek-nenek, mereka mempunyai seorang anak yang aneh. Dan anak inilah yang paling ditakuti manusia kala itu, yang mana… roman wajah dan fisik anak tersebut amat menakutkan. Tingginya sekitar satu meter. Punggungnya bongkok seperti punuk onta. Rambutnya panjang menyapu tanah. Giginya jarang dan runcing-runcing, matanya cekung dan hitam mengkilat laksana mata burung elang. Kulitnya mengeriput seperti kulit kodok. Kumisnya berjuntai melampaui bibirnya, kukunya hitam laksana kuku anjing. Dan yang paling menakutkan, sewaktu para musafir atau pengembara melewati jalan setapak yang mengarah kesana, ia sering meloncat-loncat diatas pohon sambil memekik-mekik yang membuat semua orang ketakutan.
Dan bila malam tiba, penduduk yang tinggal dekat hutan itu sering mendengar suara tawanya yang mengerikan bersahutan dengan suara anjing hutan. Itulah hutan sunyi yang tak akan dijamah penduduk untuk dijadikan kebun atau sawah. Dan dari desas desus kabar burung diketahui bahwa nama manusia aneh itu ialah “Jamding”
Sebenarnya, rumah orang peladang itu amatlah bagus dan tertata rapi. Dihalamnya menghampar pohon-pohon tebu yang amat manis rasanya. Ada tebu hitam, coklat, hijau, dan kuning. Sedangkan dibelakang rumah yang beratapkan ijuk itu beraneka ragam macam buah-buahan menghiasinya.
Suatu hari, baginda Rajo Tuo dikagetkan dengan kesadaran puterinya Puti Seranok Pinang. Sang puteri tiba-tiba bisa bicara.
“Aduh… sakiitt… ayah……!”ujarnya lirih. Sang baginda Raja Tuo dan Permaisurinya Puti Lindung Bulan menghampiri sang permata hati.
“Anakku, apakah gerangan yang membuatmu seperti ini…? Bagian manakah dari tubuhmu yang sakit…? Katakan nak apa yang musti kami kerjakan demi kesembuhanmu..?” Raja Tuo membelai kepala puterinya penuh kasih sayang.
“Ayah… kerongkonganku kering…. Aku mau minum air tebu ayah..!” sang puteri menatap ayahnya sendu dan penuh iba.
“Katakan anakku… tebu apakah yang kamu inginkan…? Jangankan tebu, Apelpun akan ayah usahakan demi kesembuhanmu..!” ujar ayahnya.
“ayah… hanya tebu Jamding yang bisa mengobatiku..!”ujar Puteri dengan penuh harap. Sang raja Tuo terkejut.
“Apa…? Tebu Jamding.???”Sang raja Tuo bingung. Namun beliau mengumpulkan masyarakat banyak untuk mengadakan sayembara siapakah yang berani meminta tebu Jamding.
Pagi itu, dari rumah gedang terdengar suara tabuh bertalu-talu yang mengisyaratkan agar semua rakyat berkumpul. Apapun kegiatan hari itu harus dihentikan, dan diharapkan penduduk berkumpul.





Sang raja berdiri diatas singgasananya dengan penuh takzim.
“Wahai rakyatku sekalian… beberapa bulan terakhir ini, keluarga istana sedang dilanda duka dengan sakitnya sang puteri. Maka dari itu, demi kesembuhan puteriku Puti Seranok Pinang, maka aku akan mengadakan sayembara. Barang siapa yang bisa mendapatkan tebu Jamding untuk Puteriku, maka ia akan aku nikahkan dengan Puteriku itu..!” ujar sang raja dengan penuh harapan kepada para penduduk. “aku tak melihat status sosialnya. Baik anak Depati, Hulu Balang, atau rakyat Jelata..!” semua Pemuda berebutan untuk ikut dan suasana berubah menjadi ribut. Sehingga terpaksa sang raja mengadakan seleksi yang akhirnya terpilih tujuh orang pemuda hebat anak pejabat dan ninik mamak yang terhormat.
Dengan penuh harap, penduduk menanti kedatangan sang pemberani untuk pergi meminta tebu jamding. Ternyata… nyali besar tak berguna. Sebelum sampai dirumah Jamding, sang pangeran telah kalang kabut demi mendengar suara bagaikan setan.
Ketujuh peserta pulang dengan tangan hampa. Bahkan Putera Bangsawan Sutan Majinok sampai gila dan hilang ingatan. Ia kepergok mencuri tebu Jamding. Jamding bukan manusia sembarangan. Ia adalah separoh setan dan separoh Jin.
Raja Tuo putus asa. Sang puteri kian sekarat. Orang-orang menangis. Namun seorang pemuda yang dibenci dan dipandang hina oleh penduduk tampil kedepan. Sang raja menatapnya dengan penuh harap.


Setelah menghatur sembah sang piatu berkata:
“Duhai Paduka yang mulia, ijinkanlah hamba untuk menolong tuanku puteri Puti Searnok Pinang kalau dibolehkan..!” Sipiatu mengatur sembah.
“Baiklah anak muda. Hanya engkaulah satu-satunya harapanku. Katakan apa yang kau minta untuk kepergianmu..?” tanya Raja dengan mata tertuju penuh pada pemuda itu.
“Ampun tuanku, andai boleh, ijinkanlah saya mengendarai seekor kuda istana, dan sebuah pedang, karena hamba membutuhkan itu..!” jawab Piatu dengan hormat.
“Baiklah anak muda. Patih Mangku Bumi, berikan apa yang diinginkan anak ini…!” Baginda Raja Tuo memberikan apa yang dimintai Piatu. Akhirnya sang Piatu pergi dengan menunggang kuda menuju arah hilir sana.
Penduduk mencibir kearahnya. Bahkan salah seorang pejabat istana tanpa sadar bergumam..”aku mau taruhan, kalau anak itu membawa tebu tersebut, potong nih kuping ini..!” gumamnya dengan penuh tatapan benci. Itu karena puteranya gagal membawa tebu tersebut.
“Jangan memandang rendah orang patih Jaga Huuk…!”bentak sang Baginda Raja Tuo yang membuat semua yang hadir merunduk.




Dengan penuh keyakinan, Piatu mengendarai kuda tersebut menuju rumah Jamding. Sesampai disana ia terkesima melihat pemandangan yang ada. Begitu indah. Setelah menambatkan tali kudanya, Piatu menghampiri rumah panggung beratapkan ijuk itu.
“Ada dirumah Jamding..? izinkan aku menemuimu..!”teriak Piatu dari bawah. Tampak pintu terbuka, dan sebuah kepala menakutkan muncul dengan seringainya.
“Hue…hue..he..he…. huak..!!! masuk jadi kapas, pergi jadi bangkai..!” katanya seraya kembali masuk kedalam rumah. Kalau tidak ingat dengan sang puteri kerajaan yang cantik jelita, dan rasa kasihan yang mengusik kalbunya, maka dengan tulus sipiatu berfikir keras. Apa artinya..? kalo masuk jadi kapas. Kapas artinya lembut, dan pergi jadi bangkai, berarti mati. Akhirnya sipiatu masuk dengan jantung berdegup kencang.
Diruangan dalam, Jamding duduk bersimpuh menatap Piatu. Didepannya ada baki berisikan sirih dan rokok daun enau. Piatu duduk.
“Mari minum darah dan hisap mulut..!” ujar Jamding menatap Piatu terus. Apa artinya..? kata Piatu dalam hati. Ia berfikir, didepannya ada nampan berisikan alat sirih dan rokok daun enau, o.. ya aku ngerti kbathin Piatu. Lantas ia meraih sirih dan mngunyahnya seraya menyulut sebatang rokok. Jamding tersenyum, namun senyumnya jelek dan terkesan seringai hantu hutan belantara.



Piatu berfikir sejenak. Lantas ia berujar :
“Kemana Bapak dan Ibu kita Jamding..?” tanya Piatu seraya menghisap rokoknya. Jamdingpun tak terkesan bermusuhan lagi. Mungkin ia tahu kalau tamunya yang pertama dan mungkin yang terakhir ini berniat baik.
“Hue..hue..he..he.. Bapak Naik langit ngambil air, dan ibu sedang menghitamkan punggung memutihkan dada..!” ujar Jamding yang membuat si Piatu berfikir keras. Naik langit ngambil air…? Oya, pasti menyadap nira. Bathin piatu, dan ibunya pasti sedang menanam padi, sebab menunduk, punggung terbakar matahari dan dada terlindungi. Memang aneh orang ini..!
“baiklah Jamding. Bolehkah aku meminta tebumu..?” tanya Piatu dengan penuh harapan.
“ambil tiga tak boleh lebih..! hue..he..he…tak boleh pakai besi, pakai tangan, dan kepalanya hantamkan keperut bumi..!” ujar Jamding. Piatu telah mengerti maksudnya.
“terima kasih Jamding… tebu itu untuk obat puteri Raja yang sakit..!” jawab Piatu seraya berdiri.
“kalau kau diizinkan tidur dengan puteri raja, kirim angin untukku bersama seekor ayam kinantan..!” ujar Jamding selanjutnya.
“baikalah Jamding, aku tak akan melupakanmu..!” kata Piatu.
“manusia akan menyesal setelah kejadian menimpa..!” sahut Jamding lagi.

Piatu mematahkan tebu dengan tangannya, dan menusukkan kedalam bumi hujungnya, agar pucuk itu menjadi tebu muda lagi.
“terima kasih Jamding, dan selamat tinggal..!” seru Piatu dari atas kuda.
“Ingat janji adalah hutang.,.!” teriak Jamding mengiringi kepergian Piatu.

Semua mata memandang sinis saat Piatu masuk istana dengan tiga batang tebu. Para putera bangsawan yang gagal bergumam. “ah, sibodoh pasti membawa tebu sembarangan…!” kata mereka.
Namun benar-benar ajaib..! setelah meminum air tebu Jamding, sang Puteri sehat segar bugar. Sang Raja begitu terharu, dan memeluk si piatu.
Malam jum’at, setelah satu minggu sang puteri sehat, sang Raja Tuo mengadakan acara syukuran selama tujuh hari tujuh malam dengan memotong tujuh ekor kerbau gemuk. Karena malam terakhir adalah malam pernikahan antara sipiatu dengan sang Puteri Puti Seranok pinang.
Malam terakhir… saat Piatu mengadakan malam pertamanya dengan sang puteri, gempa bumi yang maha dahsyat terjadi. Semua orang panik keluar dari rumah. Bumi bergoncang dengan dahsyatnya. Diselatan sana terdengar air mengalir dengan deras.



Bumi masih bergoncang. Piatu mengamit erta tangan isterinya, namun malang… tanah terbelah, dan sang puteri terjerumus kedalam perut bumi dan tanah itu menyatu kembali, piatu menjerit sejadi-jadinya. Saat itu ia melihat wajah Jamding tersenyum kearahnya. Iapun ingat janjinya apabila ia menikah dengan puti Seranok Pinang, maka ia akan memberi Jamding ayam kinantan, tapi ia lupa. Piatu menangis pilu.
Keesokan harinya, orang-orang kampung berduyun-duyun kearah selatan dimana ladang dan kebun Jamding berada. Maksud mereka mau minta maaf dan agar Jamding mengembalikan sang Puti Seranok Pinang.
Namun… jangankan Jamding, ladang tebu dan rumah indah ditengah hutan itu tak ada lagi. Yang ada hanya batang air yang membelah Kerajaan Semurup dengan Siulak.
Hingga saat ini… batang air itu terus mengalir membatasi Semurup dengan Siulak. Kapankah batang air itu berhenti mengalir…? Wallahu alam bissawaf.

3 komentar:

  1. ha ha... lucu juga luw bram,, add folow dunk http://inggaputra.blogspot.com
    Manen kito majukah dak mitun?

    BalasHapus
  2. ingga : Co2k.,..,., tw knti add iko ndan,.,..,

    BalasHapus